Wayang dan Wardoyo

Sabtu 10 Juli 2010, lewat tengah malam Minggu. Usai mengikuti acara Re uni Angkatan saya masih menyempatkan singgah di kampus almamater tercinta SMAN-1 Purworejo. Malam itu giliran Ki Dalang Sutarko naik panggung yang siangnya digunakan manggung para kawula Muda Ganesha.

Tak penting buat saya apa lakonnya, tapi saya benar-benar terdorong ingin menyaksikan pertunjukan Wayang Kulit yang sudah amat jarang bisa saya lakukan apalagi di kota besar semacam Jakarta dengan segala urusan ”thethek bengek” (Apa bahasa Indonesianya ya?). Kejenuhan atas rutinitaskota Jakarta justru mendorong saya lebih keras untuk menyempatkan diri menonton dan coba menikmati (enjoy) pagelaran Wayang itu.

Paduan ketrampilan sang dalang, tabuhan wiyaga dan lantunan tembang para waranggana sungguh menciptakan pertunjukan yang apik. Soundsystem dengan speaker berkekuatan ribuan watt membuat suara gong dan kendang tambah mantab, menghasilkan pertunjukan yang spektakuler. Saya benar-benar larut dalam alur cerita dan alunan musik, percaturan dalang dantembang-tembang waranggana. Adakah generasi masa kini yang masihmengapresiasi atau sekurangnya peduli terhadap seni pertunjukan wayang kulit atau seni tradisional secara umum? Pertanyaan ini mungkin hanya akan mengundang tawa atau bahkan cibir di tengah maraknya budaya pop yang lebih digandrungi generasi masa kini. Tapi ini tidak ”ngaruh” sedikitpun seandainya saya dikatakan kuno, puritan, atau ketinggalan jaman.

Dalam konteks pembangunan ekonomi, seni pertunjukan (apapun) termasuk jenis industri kreatif (cq. Departemen Perdagangan RI) yang memiliki daya tarik besar dan prioritas untuk dikembangkan, minimal dipertahankan, untuk mampu memberi sumbangan pada pembangunan ekonomi nasional. Faktanya mendukung, banyak jenis karya seni tradisional yang mendunia dan tumbuh sebagai industri (kreatif) yang kemudian berdampak peningkatan nilai komersial.

Bali adalah sumber inspirasi berragam seni tradisional yang justru menjadi daya tarik orang asing. Tak heran jika orang asing lebih mengenal nama ”Bali” ketimbang nama ”Indonesia”.

Ketenaran seni tradisional asli Indonesia selain Bali juga tak sedikit yang diketahui warga asing. Tidak terkecuali seni tradisional etnis Jawa. Buktinya banyak turis dan warga asing yang tekun mendalami seni pewayangan, ada yang luwes menjadi waranggana, wiyaga, penabuh kendang, penari, bahkan ada pula yang trampil menjadi dalang (Kick Andy Metro TV pernah menampilkan yang terakhir ini). Saat ini, sebuah rombongan tari lengkap dengan wiyaga yang semuanya diperankan orang asing diberitakan tengah berkeliling Indonesia untuk mempertunjukkan ketrampilannya. Bahkan Bupati Karanganyaryang kedatangan rombongan tersebut tak ayal ikut menari. Ini membuktikan bahwa seni pertunjukan (tradisional) masih memiliki tempat, meski ironisnya justru banyak diminati oleh orang asing. Inikah pertanda bahwa pelestari budaya tradisional Indonesia justru akan dilakukan oleh orang-orang asing, mereka yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan budaya pop? Sebaliknya warga lokal Indonesia justru terlena dengan budaya pop, melupakan dan meninggalkan seni tradisional termasuk seni pewayangan, sebuah warisan adikarya!

Kembali ke pertunjukan wayang Ki Sutarko dan rombongannya itu, ada kerinduan dan nostalgia yang tiba-tiba merasuk sukma saya. Bunyi gamelan, kecrek, suluk sang Dalang, tembang oleh waranggana, hingga kletak-kletik pecahnya kacang kulit yang di-camil penonton sebelah saya, semua mengingatkan masa itu. Masa ketika saya masih duduk belajar di kampus ini. Saya teringat seorang bernama Wardoyo, sosok yang dingin ini saya yakin telah ikut membentuk pribadi dan karakter saya di kemudian hari. Kala itu ia adalah guru pelajaran Kewarga-negaraan, sebuah pelajaran yang, jujur saja, buat saya tak mudah mengertinya. Tapi guru ini punya sisi lain. Ia adalah seniman dan guru seni khususnya seni pewayangan pada kegiatan Ekstra-Kurikuler masa itu. Setiap hari tertentu kami berlatih karawitan dengan bimbingan sang Maestro Wardoyo.

Termasuk dalam rombongan itu adalah sahabat saya Sukirman, kala itu ia telah mahir menabuh bonang.Guru Wardoyo suka menaiki sepeda motor kecil, antik, bisa dikayuh ketika mesinnya mati, dan tak ada duanya di Purworejo. Pembawaannya pendiam, eskpresi wajahnya dingin, sedingin dan sedatar bicaranya. Tapi rupanya tidak demikian dengan pikiran dan tangannya. Beliau mahir memainkan bermacamalat musik gamelan dan menyusun lakon pewayangan. Suatu hari di masaSMAN-1 akan menyelenggarakan Lustrum ”Dwi Windu Tri Panca Warsa” sangguru Wardoyo menawari saya, bahkan setengah memaksa, menjadi penari dalam Sendratari yang akan ditampilkan pada malam Reuni dan Lustrum masa itu. Tapi karena saat itu saya tengah gandrung menjadi wiyaga, meski baru mampu memainkan saron dan kenong atau paling jauh kempul, saya tak bersedia. Bagi saya yang penting ikut memeriahkan acara Lustrum dengan peranapapun. Di kelak kemudian hari saya menyesal, bukan semata karena khawatir menyinggung perasaan sang guru, tetapi karena saya telah kehilangan kesempatan belajar dan mengeksplorasi bakat dan kemampuan saya di bidang seni peran dan seni tari (beksa).

Benar, saat Sendratari dimainkan, tepuk tangan bergemuruh dari penonton menandakan keberhasilan pertunjukan Sendratari yang dimainkan oleh para siswa SMAN-1 pada waktu itu. Yang perlu diapresiasi adalah orang-orang dibelakang layar. Ternyata Wardoyo dan ….. Winoto Sugeng, adalah dua Maestro yang bekerja tandem menjadi arsitek pertunjukan Masterpiece Sendratari itu. Nyata kini, bahwa dedikasi guru-guru itu luar biasa. Bukan hanya membekali otak kiri dengan matematika, fisika, dll, tetapi tak kurang mereka juga keras mendidik seni, mengisi dan mencekoki otak kanan, agar anak muridnya menjadi insan yang utuh dan lengkap kepribadiannya. Terima kasih guruku….

Kini saya sering bertanya diri, adakah seni pewayangan atau seni pertunjukan tradisional lainnya (termasuk nDolalak) masih memiliki tempat di SMAN-1 dan SMA lain pada umumnya? Selain belajar seni memainkan musik (karawitan), juga bisa belajar tari, bahkan seni mendalang. Bukan cuma itu, bahasa Jawa (baca: sastra Jawa) sebagai bagian budaya orang Jawa juga akan terasah dengan mengikuti kegiatan seni pewayangan. Tetapi, pelajaran dan pendidikan seni apapun adalah makanan jiwa dan pikiran (otak kanan) yang mampu membentuk karakter dan kepribadian manusia. Selain agama, seni adalah juga makanan jiwa yang mampu menyeimbangkan hidup dan kehidupan pribadi manusia, hingga ia bisa menjadi manusia yang utuh dan lengkap, berkehidupan yang harmonis dan insyaAllah bahagia. Dalam konteks kemasyarakatan atau kebangsaan, seni tradisional bukan cuma bernilai sebagai penciri sebuah etnis atau kelompok bangsa yang mampu membentuk karakter adiluhung bangsa/etnis itu, tetapi seni (pertunjukan) tradisional juga potensial dikembangkan sebagai aset bernilai komersial yang mampu mendongkrak ekonomi negara bangsa tersebut.

Mari …. hidupkan kembali seni tradisional !…

Salam Muda Ganesha,

Untung Sumotarto MG’75 (Cah Tumo)