BOGOWONTO …. RIWAYATMU…

Mendengar kata Bogowonto mungkin masih ada orang yang mengira ini cuma nama rangkaian Kereta Api AC-Ekonomi yang memiliki trayek Kutoharjo-Jakarta PP. Benar. Lazimnya, PT KAI memang menamai rangkaian KA dengan nama-nama gunung atau sungai seperti KA Argo Bromo, KA Argo Muria, KA Bengawan, KA Serayu, dan sekarang ada KA Bogowonto. Maka jelas Bogowonto aslinya adalah nama sungai di Purworejo. Jika ditelusur lebih jauh Bogowonto adalah nama seorang pendekar silat yang kontroversial di masa Kerajaan Mataram.

Meski tak selegendaris sungai Bengawan Solo, Mahakam, atau Mamberamo, paling kurang masyarakat Purworejo masih cukup bangga dengan sungai Bogowonto, apalagi sekarang diabadikan menjadi nama rangkaian KA.

Tetapi apresiasi tidaklah cukup dengan sekedar melestarikan namanya saja, yang lebih penting melestarikan keberadaan sungai itu sendiri dan lingkungannya. Di bawah ini cerita bagaimana pentingnya Bogowonto harus dilestarikan.

Tahun 1970-an …

Pulang dari sekolah di kampus SMAN Purworejo sore itu masih cukup terik. Enam orang siswanya yakni Bambang, Didit, Untung, Supriyanto, Supriyono, dan Hendarto (MG75) serta mas Ipung (MG73) tertarik menjajal dalamnya “Kedung” (lubuk) di Kali Bogowonto tak jauh dari Pangenrejo. Byur … semua berlomba terjun ke air yang bisa menjadi obat kepenatan serta mendinginkan kepala setelah seharian berkutat dengan Matematika, Fisika, Kimia, dll. Ceria … air begitu melimpah, tak kurang pada kesempatan lain memancing masih bisa berharap mendapat ikan. Bogowonto masih memberikan berkah dan rezekinya kepada petani, peternak, dan nelayan yang hidup di sekitar daerah alirannya dengan sumber penghidupan yang melimpah. Hingga kinipun Kali Bogowonto masih terus setia memberi kepada masyarakat sekitar Purworejo tanpa pamrih, tanpa meminta imbalan jasa.

Namun justru keserakahan manusia akan sumber-sumber daya alam, membuat Bogowonto “menangis” tanpa bisa dipahami umat manusia. Penebangan pohon secara liar di hulu mata airnya membuat aliran meluap bahkan membawa musibah banjir di musim hujan namun di musim kemarau kerontang, ikan menggelepar, ternak dan manusia kehausan, padi dan tanaman yang meminta air darinya meranggas. Alam menjadi begitu tak ramah lagi

akibat ulah manusia.

Jika pada masa lalu anak-anak bermain air cukup dengan “slulup” dan berenang seadanya di air, kini hiburan/wisata air manusia semakin beragam dan canggih; ada water boom, ada paraskating, ada snorkeling, ada diving, dan yang juga seru adalah rafting dan kayaking. Tak terkecuali di sungai semacam Bogowonto.

Awal tahun 2010.

Sebuah Tim Pengarung Jeram yang terdiri dari satu perahu karet dan satu perahu kayak menjajal tantangan arus deras dan jeram sepanjang hulu Bogowonto. Tim ini memulai perjalanannya dari kaki Gunung Guntur, melewati dam Maron, dan berakhir di jembatan Tambak. Sejumlah jeram, drop, dan pillow berhasil mereka taklukkan dengan selamat. Tim menyimpulkan Kali Bogowonto cukup memiliki tantangan untuk menguji adrenaline para pengarung jeram, tak kalah dengan sungai-sungai lain yang telah lebih dulu tumbuh menjadi medan arung jeram yang menantang semisal sungai Serayu di Banjarnegara dan sungai Progo di kawasan hulu sekitar Muntilan.

Bogowonto termasuk tertinggal menjadi medan wisata arung jeram. Inilah potensi yang belum cukup digali oleh masyarakat Purworejo padahal sungai sungai lain sudah ramai menjadi ajang pertarungan arung jeram.

Arus sungai yang susut pada musim kemarau tetapi meluap tinggi pada musim hujan menjadi masalah tersendiri sehingga pengarungan menjadi lebih berbahaya di musim hujan tetapi tidak bisa diarungi pada musim kemarau. Semua ini terkembali pada debit air yang ekstrim pasang surut nya. Dan jika ditelusur mudah ditebak ujungnya adalah masalah penggundulan hutan di kawasan hulu sungai. Gunung Guntur dan lereng Merbabu sebenarnya menjadi daerah tangkapan hujan (Catchment area) kali Bogowonto. Jika wilayah ini gundul, sudah barang tentu tak mampu menyimpan air. Jadi, jika wilayah ini di-“hutan”-kan kembali, insyaAllah, bukan saja para petani, nelayan dan masyarakat pengguna air Kali Bogowonto yang dihidupkan, tetapi wisata air sejenis arung jeram itupun lebih lestari sepanjang tahun. Sungai Citarik di Sukabumi barat telah menjadi kawasan bisnis yang mampu memberikan pemasukan daerah. Selain usaha penyewaan perlengkapan arung jeram, di sekitarnya juga tumbuh tempat-tempat penginapan, rumah makan dll untuk pewisata arung jeram. Bukankah

ini nilai tambah ekonomi dari sekedar peningkatan pemasukan para petani, petambak, pekebun, dll di sekitar daerah aliran sungai (DAS)?

Wass,

Untung S.-