Dawet

Semua tentu sudah mengenal dan pernah minum dawet. Apa perlunya dibicarakan? Bukan cuma karena Purworejo punya produk Dawet Ireng yang bisa dijumpai di sepanjang jalan dari Prembun hingga Congot. Ternyata dawet juga menyimpan berragam cerita. Pada acara Reuni atau temu Muda Ganesha lain tak jarang ada suguhan dawet ireng. Saat kecil, eyang atau ibu saya sering memberi hadiah minum dawet setelah dipaksa minum jamu pahitan di Pasar Baledono. Atau saat eyang memanen padi di Gintungan (Gebang), saya ikut-ikutan ke sawah, lalu minta seikat padi hasil “derep” untuk beli dawet (“ngurup”). Mak nyuss, segar rasanya, setelah berpanasan di sawah.

Meski cara membuatnya sederhana yakni rebusan tepung untuk dibuat cendol, di campur sirup gula merah dan santan plus es, tapi ternyata banyak variasinya. Umumnya cendol dawet dibuat dari tepung sagu, tapi ada pula yang dibuat dari tepung aren (batang aren juga memiliki kandungan tepung seperti batang sagu), lantas ada pula yang ber-eksperimen dengan cendol yang terbuat dari daging lidah buaya (Aloevera). Hmm … macem2 … Ditambah irisan buah nangka atau durian, bahkan ada pula yang mencoba tape ketan jadilah dawet minuman yang komplit.

Soal asal usul, Purworejo bukan satu-satunya. Pesaing berat Dawet Ireng Purworejo barangkali Dawet Ayu Banjarnegara. Dari sisi penyebaran, dawet ayu boleh jadi lebih luas. Lebih banyak ketemu dawet ayu di Jakara ketimbang dawet ireng. Coba, mengapa begini? Dugaan saya ini karena dawet ayu lebih agresif menawarkan jualannya. Ada dawet ireng di Jakarta, nama warungnya, maaf, “Dawet Jembut” yang mangkal di depan stasiun KA Jatinegara. Ternyata nama itu singkatan dari “Jembatan Butuh” (mungkin asal usulnya dari Jembatan Butuh). Saya juga naksir dan pernah mencoba dawet Bandung yang mangkal di bilangan Pondok Aren (Bintaro, Jakarta). Ada lagi Dawet Jabung (asal desa Jabung, Ponorogo).

Jika dawet ireng mau didorong menjadi produk laku jual, tentu tak sekedar promosi bahannya yang ramah lingkungan. Misalnya warna hitam berasal dari arang bakaran batang padi. Soal nama saja saya jengah. Sudah disebut dawet “ireng” mengapa memakai nama “Jembut” pula? Padahal ini bisa berkonotasi negatif. Mungkin si penjual mau mengorbitkan nama yang aneh, gampang diingat, tetapi tidakkah ini bisa “counter productive”?? Bandingkan dengan orang Banjarnegara yang memberi nama produknya dengan Dawet Ayu. Mungkin itu yang menyebabkan lebih dikenal orang. Nama bisa mengubah citra !. Jadi Dawet Ireng juga bisa mengubah nama, misalnya Dawet Manis, istilah kerennya “brand imaging”, gitu loh.

Di depan kantor pos Purworejo ada tukang dawet yang tampil bersih dan enak rasanya meski bukan dawet ireng, tapi saya belum menemukan penjual dawet Purworejo sekelas ini di tempat lain. Ini bukan promosi. Tukang dawet ini sedikit menampilkan corak berbeda, yakni selain warna cendol bukan hitam, butir-butir cendolnya berukuran lebih kecil, memanjang. Lagi, mengubah tampilan untuk “brand imaging” itu tadi. Secara umum barangkali memang perlu reka daya untuk mengembangkan UKM agar dawet Purworejo lebih banyak berkembang ke luar daerah bahkan bila perlu mendunia.

Ini kisah Hafiz, sarjana lulusan Fakultas Teknik USU (Universitas Sumatra Utara), Medan. Sepuluh kali ia coba membangun bermacam usaha. Semua gagal. Kali ini ia coba bangun usaha yang ke-sebelas. Dengan kiat: AMATI, TIRU, dan MODIFIKASI, ia merintis jalan jualan dawet ayu. Dengan modal Rp.500 ribu pinjaman dari mertuanya, ia mangkal di tepi jalan kota Medan, menjual dawet dengan gerobag pinjaman. Pada tahun ke-lima (2011) ini ia berhasil mengembangkan usahanya. Kini ia telah memiliki 26 gerai dawet dan 60 franchise yang tersebar di kota Medan, Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Sigli. Konon kuncinya sederhana saja: sabar dan konsisten!

Yang menarik bukan cuma keberhasilan pengembangan usahanya itu. Saya menduga Hafiz bukan orang asli Banjarnegara, tapi etos kerja kerasnya berhasil membangun usaha waralaba produk yang bukan berasal dari lingkungan budayanya, karena kiatnya itu tadi; amati, tiru, dan modifikasi. Kiat itu juga memberi makna bahwa dawet bisa di-“rekayasa” (modifikasi) dengan berbagai cara untuk tampil menarik, memiliki cita rasa “lebih” dan laku jual. Sebuah pelajaran penting dari seorang Hafiz !. Semoga muncul Hafiz-Hafiz lain yang berhasil mengembangkan dawet dari Purworejo.

Salam,
Untung Sumotarto. (MG-75)