NDOLALAK DAN KASNO

Pertunjukan Ndolalak di desa Grantung (Bayan) tiba-tiba ricuh, bahkan panggung pertunjukan terbakar. Usut punya usut meski para pemain mengalami trance (kesurupan) tetapi tidak sampai gaduh. Kericuhan lebih disebabkan karena ulah penonton yang mabuk, berkelahi, dan membuat keonaran, bahkan konon perkelahian para penggemar Ndolalak kini tak lagi dengan tangan kosong, tetapi juga menggunakan martil, parang dan clurit. Pertunjukan Ndolalak kini semakin memprihatinkan. Meski sekitar tahun 2007 dikabarkan mengalami perkembangan namun akhir-akhir ini justru diberitakan mengalami kemunduran bahkan mendekati ajal. Pada puncak perkembangannya banyak grup nDolalak berdiri di seantero Purworejo. Tak sedikit di antaranya yang kondang dan meraih sukses pentas di berbagai even termasuk di luar negeri semisal Taiwan. Sebutlah misalnya grup Sinar Muda dari desa Sumbersari (Kaligono, Kaligesing), grup Sri Dadi dari Mlaran (Gebang), lalu ada lagi grup Karya Muda dari desa Kerep (Kemiri).

Ndolalak kini dinilai mengalami kemunduran. Tak hanya kesempatan manggung yang semakin surut, tetapi pertunjukan kini sering menyimpang dari pakem asli tari dan nyanyian Ndolalak. Perkembangan selera penonton berakibat pertunjukan Ndolalak yang kini banyak ditarikan para wanita muda mulai menyimpang, semisal menyanyikan lagu campursari, dangdut, dengan kostum pakaian ketat, celana semakin pendek dan goyang ngebor. Ditambah kerawanan keamanan dari para penonton itu membuat para pegiat dan pelaku seni Purworejo prihatin. Orang-orang semacam Siswo Pawiro dari desa Sumbersari, Kaligono, Kaligesing, atau Karyadi dari Mlaran, Gebang, sebagai pendiri grup Ndolalak tentu gelisah. Sementara itu para pegiat seni khususnya Ndolalak seperti Eko Marsono atau Sudarwoko tentu tak bisa tinggal diam. Mereka terus berupaya mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Seminar, diskusi, atau sarasehan, bahkan pelatihan dan workshop sudah mereka gelar. Tapi bahkan hingga Oktober tahun 2009 mereka masih dirundung keresahan.
Dari kata Do, La, La, yakni not lagu nyanyian dua nada yang awalnya mengiringi tarian, lalu kesenian ini dinamakan Dolalak. Lidah orang Purworejo menyebutnya dengan nDolalak (serupa dengan menyebut kata-kata mBagelen, mBragolan, nDoplang, dsb). Siswo Pawiro, sang Maestro tari Ndolalak mengisahkan, tari ini lahir pada zaman penjajahan Belanda. Ketika itu Purworejo dijadikan pusat latihan militer. Konon pada waktu luang para prajurit Belanda berbaur dengan warga untuk menari dalam bentuk baris berpasangan, diiringi nyanyian bersyair pantun sindiran. Saya yakin, bahwa para pegiat dan pencipta Ndolalak lebih mengagumi semangat keprajuritan, ketimbang mental ”keBelanda-Belandaan”-nya yang pada waktu itu sebagai penjajah.

Adalah Kasno, begitu kami sering memanggilnya. Ia mengundang kami menyaksikan pentas rombongan Ndolalak yang dipimpinnya di Taman Mini Indonesia Indah pertengahan tahun 2009. Malah pertengahan November 2009 ia kembali membawa rombongan Ndolalak Purworejo pentas di TMII. Kasno, ya, sekian tahun tidak bertemu, sahabat Muda Ganesha ini ternyata tekun memperjuangkan Ndolalak. Saya kagum!. Bila anak muda lain lebih kesengsem dengan ”Moon Walk”-nya Michael Jackson, atau Capuera dari Brazil, Kasno lebih suka menggeluti tari warisan budaya lokal. Ia sadar bahaya yang kini mengancam bermacam kreasi seni dan budaya asli daerah. Bukan saja dari kepunahan tetapi juga dari ancaman perampasan hak cipta, seperti nasib yang dialami lagu Rasa Sayange (Ambon) atau tari Reog (Ponorogo) dan, nyaris, Tari Pendet (Bali) yang diklaim oleh Malaysia. Kasno ternyata juga tak bisa tinggal diam. Ia bukan orang yang ignorant (abai, ora ngrewes, ora nggape, luweh-luweh) terhadap nasib yang kini tengah menimpa Ndolalak. Ia singsingkan lengan baju untuk sumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya demi sang Ndolalak. Maka orang-orang seperti Kasno, Eko Marsono, Sudarwoko, dan Kasno-Kasno yang lain boleh disebut bukan hanya sebagai PEGIAT SENI, tetapi juga PELESTARI BUDAYA, sekaligus PEJUANG HAK CIPTA. Semoga usaha-usaha mereka membuahkan hasil gemilang.

 

Salut ….

Jabat erat,
Untung Sumotarto (MG 75)